FLAVONOID
A. Sejarah Senyawa Flavonoid
Ilmu kimia senyawa-senyawa fenol yang ditemukan di
alam mengalami kemajuan yang pesat setelah Kekule berhasil menetapkan struktur
cincin aromatic. Bahkan, struktur dari beberapa senyawa fenol telah dapat
ditetapkan sejak abad ke-19. Oleh karena itu, ilmu kimia senyawa-senyawa fenol
kadang-kadang dianggap sudah usang. Akan tetapi topic-topik yang menarik
mengenai senyawa-senyawa itu terus menerus muncul dengan adanya
penemuan-penemuan baru. Dengan demikian, senyawa-senyawa fenol dapat dianggap
sebagai cabang dari ilmu kimia bahan alam yang terus berkembang.
Sifat-sifat kimia dari senyawa fenol adalah sama,
akan tetapi dari segi biogenetic senyawa-senyawa ini dapat dibedakan atas dua
jenis utama, yaitu:
1. Senyawa fenol yang berasal dari asam shikimat
atau jalur shikimat.
2. Senyawa fenol yang berasal dari jalur
asetat-malonat.
Ada juga senyawa-senyawa fenol yang berasal dari
kombinasi antara kedua jalur biosintesa ini yaitu senyawa-senyawa flanonoida.
Tidak ada benda yang begitu menyolok seperti
flavonoida yang memberikan kontribusi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan
buah-buahan di alam. Flavin memberikan warna kuning atau jingga, antodianin
memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada
pelangi kecuali warna hijau. Secara biologis flavonoida memainkan peranan
penting dalam kaitan penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoida
mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak sejenis ulat tertentu.
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok fenol yang
terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah,
ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam
tumbuh-tumbuhan.
Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan dengan warna
kuning, kuning jeruk, dan merah dapat ditemukan pada buah, sayuran, kacang,
biji, batang, bunga, herba, rempah-rempah, serta produk pangan dan obat dari
tumbuhan seperti minyak zaitun, teh, cokelat, anggur merah, dan obat herbal.
Senyawa ini berperan penting dalam menentukan warna, rasa, bau, serta kualitas
nutrisi makanan. Tumbuhan umumnya hanya menghasilkan senyawa flavonoid
tertentu. Keberadaan flavonoid pada tingkat spesies, genus atau familia
menunjukkan proses evolusi yang terjadi sepanjang sejarah hidupnya. Bagi
tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam pertahanan diri terhadap hama,
penyakit, herbivori, kompetisi, interaksi dengan mikrobia, dormansi biji,
pelindung terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal pada berbagai jalur
transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan fertilitas jantan.
Senyawa flavonoid untuk obat mula-mula diperkenalkan
oleh seorang Amerika bernama Gyorgy (1936). Secara tidak sengaja Gyorgy
memberikan ekstrak vitamin C (asam askorbat) kepada seorang dokter untuk
mengobati penderita pendarahan kapiler subkutaneus dan ternyata dapat disembuhkan.
Mc.Clure (1986) menemukan pula oleh bahwa senyawa flavonoid yang diekstrak dari
Capsicum anunuum serta Citrus limon juga dapat menyembuhkan pendarahan kapiler
subkutan. Mekanisme aktivitas senyawa tersebut dapat dipandang sebagai fungsi
„alat komunikasi‟ (molecular messenger} dalam proses interaksi antar sel, yang
selanjutnya dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme sel atau mahluk hidup
yang bersangkutan, baik bersifat negatif (menghambat) maupun bersifat positif
(menstimulasi).
B. Klasifikasi Senyawa Flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling
beragam dan tersebar luas. Sekitar 5-10% metabolit sekunder tumbuhan adalah
flavonoid, dengan struktur kimia dan peran biologi yang sangat beragam Senyawa
ini dibentuk dari jalur shikimate dan fenilpropanoid, dengan beberapa
alternatif biosintesis. Flavonoid banyak terdapat dalam tumbuhan hijau (kecuali
alga), khususnya tumbuhan berpembuluh. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua
bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nectar, bunga,
buah buni dan biji. Kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh
tumbuh-tumbuhan diubah menjadi flavonoid. Flavonoid merupakan turunan fenol
yang memiliki struktur dasar fenilbenzopiron (tokoferol), dicirikan oleh kerangka
15 karbon (C6-C3-C6) yang terdiri dari satu cincin teroksigenasi dan dua cincin
aromatis. Substitusi gugus kimia pada flavonoid umum- nya berupa hidroksilasi,
metoksilasi, metilasi dan glikosilasi. Klasifikasi flavonoid sangat beragam, di
antaranya ada yang mengklasifikasikan flavonoid menjadi flavon, flavonon,
isoflavon, flavanol, flavanon, antosianin, dan kalkon. Lebih dari 6467 senyawa
flavonoid telah diidentifikasi dan jumlahnya terus meningkat. Kebanyakan
flavonoid berbentuk monomer, tetapi terdapat pula bentuk dimer (biflavonoid),
trimer, tetramer, dan polimer.
Istilah flavonoid diberikan untuk senyawa-senyawa
fenol yang berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu flavonoida yang
terbesar jumlahnya dalam tumbuhan. Senyawa-senyawa flavon ini mempunyai
kerangka 2-fenilkroman, dimana posisi orto dari dari cincin A dan atom karbon
yang terikat pada cincin B dari 1,3 diarilpropana dihubungkan oleh jembatan
oksigen sehingga membentuk cincin heterosiklik yang baru (cincin C).
Senyawa-senyawa flavonoid terdiri dari beberapa
jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propane dari system
1,3-diarilpropana. Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis yang banyak
ditemukan di alam sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama. Banyaknya senyawa
flavonoida ini disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau
glikosilasi dari struktur tersebut.
Senyawa-senyawa isoflavonoida dan neoflavonoida
hanya ditemukan dalam beberapa jenis tumbuhan, terutama suku leguminosae.
Masing-masing jenis senyawa flavonoida mempunyai
struktur dasar tertentu. Flavonoida mempunyai beberapa cirri struktur yaitu:
cincin A dari struktur flavonoida mempunyai pola oksigenasi yang
berselang-seling yaitu pada posisi 2,4 dan 6. Cincin B flavonoida mempunyai satu
gugus fungsi oksigen pada posisi para atau dua pada posisi para dan meta aau
tiga pada posisi satu di para dan dua di meta. Cincin A selalu mempunyai gugus
hidroksil yang letaknya sedemikian rupa sehingga memberikan kemungkinan untuk
terbentuk cincin heterosiklik dalam senyawa trisiklis.
Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenolik
terbesar yang ditemukan di alam dan berasal dari tumbuhan tingkat tinggi.
Flavonoid mempunyai kerangka dasar dengan 15 atom karbon, dimana dua cincin
benzen (C6) terikat pada satu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu
susunan (C6-C3-C6) dengan struktur 1,3-diarilpropan. Senyawa-senyawa flavonoid
terdiri dari beberapa jenis, bergantung pada tingkat oksidasi rantai propan
dari sistem 1,3-diarilpropan [Achmad, 1985].
Kerangka dasar karbon pada flavonoid merupakan
kombinasi antara jalur sikhimat dan jalur asetat-malonat yang merupakan dua
jalur utama biosintesis cincin aromatik. Cincin A dari struktur flavonoid
berasal dari jalur poliketida (jalur asetat-malonat), yaitu kondensasi tiga
unit asetat atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari rantai
propan berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur sikhimat) [Achmad, 1985].
Prinsip dari pemisahan (isolasi) adalah adanya
perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul
untuk melarut dalam cairan (kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap
(keatsirian), kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk labus
(adsorpsi, penserapan) (Harborne, 1987).
Salah satu cara pemisahan adalah kromatografi cair
vakum, kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan
bekerja pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat
karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung
fraksi. Corong G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5 cm, kemudian
diketuk-ketuk dengan batang pengaduk bersalut dilarutkan dalam pelarut organik
yang cocok, kemudian ke dalam larutan ekstrak tersebut ditambahkan adsorben
dengan bobot sama dengan bobot ekstrak. Campuran ini digenis sampai homogen,
dikeringkan dan dimasukkan ke dalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan
lapisan adsorben ditutup dengan kertas saring. Elusi diawali dengan pelarut non
polar dilarutkan dengan kombinasi pelarut dengan polaritas meningkat. Jumlah
pelarut yang digunakan setiap kali elusi untuk bobot ekstrak sampai lima gram
diperlukan 25 ml pelarut, untuk 10-30 gram ekstrak diperlukan 50 ml pelarut.
Dalam hal ini, diameter corong dipilih sedemikian rupa sehingga lapisan ekstrak
dipermukaan kolom setipis mungkin dan rata. Masing-masing pelarut dituangkan ke
permukaan kolom kemudian dihisapkan pompa vakum. Masing-masing ekstrak
ditampung dalam wadah terpisah sehingga menghasilkan sejumlah fraksi (Soediro,
dkk.,1986).
Ø Isolasi
Flavonoid
Isolasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode
ekstraksi, yakni dengan cara maserasi atau sokletasi menggunakan pelarut yang
dapat melarutkan flavonoid. Flavonoid pada umumnya larut dalam pelarut polar,
kecuali flavonoid bebas seperti isoflavon, flavon, flavanon,dan flavonol
termetoksilasi lebih mudah larut dalam pelarut semipolar. Oleh karena itu pada
proses ekstraksinya, untuk tujuanskrining maupun isolasi, umumnya menggunakan
pelarut methanol atauetanol. Hal ini disebabkan karena pelarut ini bersifat
melarutkan senyawa–senyawa mulai dari yang kurang polar sampai dengan polar.
Ekstrak methanol atau etanol yang kental, selanjutnya dipisahkankandungan
senyawanya dengan tekhnik fraksinasi, yang biasanyaberdasarkan kenaikan
polaritas pelarut (Monache, 1996).
Senyawa flavonoid diisolasi dengan tekhnik
maserasi,mempergunakan poelarut methanol teknis. Ekstraksi methanol kental
kemudian dilarutkan dalam air. Ekstrak methanol–air kemudian difraksinasi
dengan n-heksan dan etil asetat. Masing–masing fraksiyang diperoleh diuapkan,
kemudian diuji flavonoid. Untuk mendeteksiadanya flavonoid dalam tiap fraksi,
dilakukan dengan melarutkansejumlah kecil ekstrak kental setiap fraksi kedalam
etanol.Selanjutnya ditambahkan pereaksi flavonoid seperti : natriumhidroksida,
asam sulfat pekat, bubuk magnesium–asam klorida pekat,atau natrium amalgam–asam
klorida pekat. Uji positif flavonoidditandai dengan berbagai perubahan warna
yang khas setiap jenisflavonoid (Geissman, 1962).
Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah
ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan
kromatografi kertas. Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi
lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat
memisahkan komponen paling baik (Harborne, 1987). Flavonoid (terutama
glikosida) mudah mengalami degradasi enzimatik ketika dikoleksi dalam bentuk
segar. Oleh karena itu disarankan koleksi yang dikeringkan atau dibekukan.
Ekstraksi menggunakan solven yang sesuai dengan tipe flavonoid yg dikehendaki.
Polaritas menjadi pertimbangan utama. Flavonoid kurang polar (seperti
isoflavones, flavanones, flavones termetilasi, dan flavonol) terekstraksi
dengan chloroform, dichloromethane, diethyl ether, atau ethyl acetate,
sedangkan flavonoid glycosides dan aglikon yang lebih polar terekstraksi dengan
alcohols atau campuran alcohol air. Glikosida meningkatkan kelarutan ke air dan
alkohol-air. Flavonoid dapat dideteksi dengan berbagai pereaksi, antara lain
sitrobat, AlCl3 dan NH3.
Sebelum melakukan suatu isolasi senyawa, maka yang
dilakukan adalah ekstraksi terlebih dahulu. Ekstraksi artinya mengambil atau
menarik suatu senyawa yang terdapat dalam suatu bahan dengan pelarut yang
sesuai. Proses yang terjadi dalam ekstraksi adalah terlarutnya senyawa yang
dapat larut dari sel melalui difusi, tergantung dari letak senyawa dalam sel
dan juga permeabilitas dinding sel dari bahan yang akan di ekstraksi.
Ekstraksi adalah suatu proses atau metode pemisahan
dua atau lebih komponendengan menambahkan suatu pelarut yang hanya dapat
melarutkan salahsatu komponennya saja. Dalam prosedur ekstraksi, larutan berair
biasanya dikocok dengan pelarutorganik yang tak dapat larut dalam sebuah corong
pemisah. Zat – zatyang dapt larut akan terdistribusi diantara lapisan air dan
lapisanorganik sesuai dengan (perbedaan) kelarutannya. Padaekstraksi senyawa –
senyawa organik dari larutan berair, selain airatau eter, biasanya digunakan
pula etil asetat, benzena, kloroform dan sebagainya. Ekstraksi lebih efisien bila
dilakukan berulang kali dengan jumlah pelarut yanglebih kecil dari pada bila
jumlah pelarutnya banyak tapi ekstraknyahanya sekali (Markham, 1988).
Metode
ekstraksi terdiri atas dua jenis yakni ekstraksi panas dan ekstraksi dingin.
Ekstraksi panas menggunakan cara refluks dan destilasi uap sedangkan ekstraksi
secara dingin menggunakan cara maserasi,perkolasi dan soxhletasi.
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam
air. Mereka dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan
air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa
senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi
mereka mudah dideteksipada kromatogram atau dalam larutan (Harborne, 1987 :
70).
Cara Isolasi
Flavonoid Secara Umum
1. Isolasi
Dengan metanol
Terhadap
bahan yang telah dihaluskan, ekstraksi dilakukan dalam dua tahap. Pertama
dengan metanol:air (9:1) dilanjutkan dengan metanol:air (1:1) lalu dibiarkan
6-12 jam. Penyaringan dengan corong buchner, lalu kedua ekstrak disatukan dan
diuapkan hingga 1/3 volume mula-muIa, atau sampai semua metanol menguap dengan
ekstraksi menggunakan pelarut heksan atau kloroform (daIam corong pisah) dapat
dibebaskan dari senyawa yang kepolarannya rendah, seperti lemak, terpen, klorofil,
santifil dan lain-lain
2. Isolasi
Dengan Charaux Paris
Serbuk
tanaman diekstraksi dengan metanol,lalu diuapkan sampai kental dan ekstrak
kental ditambah air panas dalam volume yang sama, Ekstrak air encer lalu
ditambah eter, lakukan ekstraksi kocok, pisahkan fase eter lalu uapkan sampai
kering yang kemungkinan didapat bentuk bebas. Fase air dari hasil pemisahan
ditambah lagi pelarut etil. asetat diuapkan sampai kering yang kemungkinan
didapat Flavonoid O Glikosida. Fase air ditambah lagi pelarut n - butanol,
setelah dilakukan ekstraksi, lakukan pemisahan dari kedua fase tersebut. Fase
n-butanol diuapkan maka akan didapatkan ekstrak n - butanol yang kering,
mengandung flavonoid dalam bentuk C-glikosida dan leukoantosianin. Dari ketiga
fase yang didapat itu langsung dilakukan pemisahan dari komponen yang ada dalam
setiap fasenya dengan mempergunakan kromatografi koLom. Metode ini sangat baik
dipakai dalam mengisolasi flavonoid dalam tanaman karena dapat dilakukan
pemisahan flavonoid berdasarkan sifat kepolarannya.
3. Isolasi
dengan beberapa pelarut.
Serbuk
kering diekstraksi dengan kloroform dan etanol, kemudian ekstrak yang diperoleh
dipekatkan dibawah tekanan rendah. Ekstrak etanol pekat dilarutkan dalam air
lalu diekstraksi gojog dengan dietil eter dan n-butanol, sehingga dengan
demikian didapat tiga fraksi yaitu fraksi kloroform, butanol dan dietil eter.
4.
Identifikasi Dengan Reaksi warna
a. uji
WILSTATER
Uji ini untuk mengetahui senyawa yang mempunyai inti
δ benzopiron. Warna-warna yang dihasilkan dengan reaksi Wilstater adalah
sebagai berikut:
- Jingga Daerah untuk golongan flavon.
- Merah krimson untuk golongan fLavonol.
- Merah tua untuk golongan flavonon.
b. uji BATE
SMITH MATECALVE
Reaksi warna ini digunakan untuk menuniukkan adanya senyawa leukoantosianin, reaksi positif jika terjadi
warna merah yang intensif atau warna
ungu.
Contohnya
Isolasi
Penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan dan
determinasi bahan, pembuatan simplisia, pemeriksaan karakteristik simplisia,
penapisan fitokimia, ekstraksi, pemantauan ekstrak, fraksinasi, pemantauan
fraksi, pemurnian, uji kemurnian dan karakterisasi isolat.
Ekstraksi simplisa dilakukan dengan cara panas
secara sinambung menggunakan alat Soxhlet. Pelarut yang digunakan
berturut-turut n-heksana-etil asetat-etanol. Pemantauan ekstrak dilakukan
dengan menggunakan pengembang yang sesuai, penampak bercak H2SO4 10% dalam
metanol dan AlCl3 5% dalam etanol.
Ekstrak yang terdeteksi mengandung flavonoid dan
mempunyai pola kromatogram yang dapat memisahkan semua bercak pada KLT,
difraksinasi dengan Kromatografi Cair Vakum menggunakan fase diam silika gel 60
H dan eluen landaian yaitu n-heksana-etil asetat-etanol dengan kepolaran
meningkat. Pemantauan fraksi dilakukan dengan menggunakan pengembang yang
sesuai, penampak bercak H2SO4 10% dalam metanol dan AlCl3 5% dalam etanol.
Fraksi-fraksi yang terdeteksi mengandung flavonoid
dan memiliki pola kromatogram yang dapat memisahkan semua bercak pada KLT,
dimurnikan dengan KLT preparatif menggunakan pengembang yang sesuai. Bagian
kanan dan kiri pelat KLT preparatif disemprot dengan AlCl3 5% dalam etanol.
Pita hasil preparatif diekstraksi dengan metanol, disaring, dipekatkan kemudian
diuji kemurniannya dengan KLT tiga pengembangan tunggal dan KLT dua dimensi.
Karakterisasi isolat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri
ultraviolet-sinar tampak dan spektrofotometri inframerah.
Hasil penapisan fitokimia simplisia umbi lapis kucai
menunjukkan adanya flavonoid, saponin dan steroid/triterpenoid. Dari ekstrak etil astat diisolasi isolat x
yang diperoleh diduga adalah senyawa flavonoid golongan isoflavon yang
mengandung gugus C-H alifatik, C=C alifatik, C-O-C, gugus aromatik dan –OH pada
posisi atom C no 5 dan atau 3’,4’
Bioaktivitas
Flavonoid
Indonesia sebagai negara tropis memiliki beraneka
ragam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan
manusia. Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia telah mengenal tanaman yang
mempunyai khasiat obat atau menyembuhkan berbagai macam penyakit. Saat ini,
para peneliti semakin berkembang untuk mengeksplorasi bahan alami yang
mempunyai aktivitas biologis yang positif bagi manusia. Berdasarkan beberapa
penelitian yang telah dikembangkan, senyawa-senyawa yang memiliki potensi
sebagai antioksidan umumnya merupakan senyawa flavonoid, fenolat, dan alkaloid.
Senyawa yang paling mudah ditemukan adalah flavonoid
karena senyawa ini adalah kelompok senyawa fenol terbesar yang
ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru,
dan sebagai zat berwarna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
Perkembangan pengetahuan menunjukkan bahwa flavonoid termasuk salah satu
kelompok senyawa aromatik yang termasuk polifenol dan mengandung antioksidan.
Oleh karena jumlahnya yang melimpah di alam, manusia lebih banyak memanfaatkan
senyawa ini dibandingkan dengan senyawa lainnya sebagai antioksidan.
Flavonoid dikatakan antioksidan
karena dapat menangkap radikal bebas dengan membebaskan atom hidrogen dari
gugus hidroksilnya. Aksi
radikal memberikan efek timbulnya berbagai penyakit yang berbahaya bagi tubuh.
Tubuh manusia tidak mempunyai sistem pertahanan antioksidatif yang lebih
sehingga apabila terkena radikal bebas yang tinggi dan berlebih, tubuh tidak
dapat menanggulanginya. Saat itulah tubuh manusia membutuhkan antioksidan
dari luar (eksogen) yang dapat dilakukan dengan asupan senyawa yang
memiliki kandungan antioksidan yang tinggi melalui suplemen, makanan, dan
minuman yang dikonsumsi.
Namun, globalisasi yang merupakan zaman sintetik membuat manusia khawatir terhadap antioksidan buatan yang pada umumnya memberikan efek samping yang tidak ringan.
Namun, globalisasi yang merupakan zaman sintetik membuat manusia khawatir terhadap antioksidan buatan yang pada umumnya memberikan efek samping yang tidak ringan.
Globalisasi membuat masyarakat menjadi semakin pandai
dan kritis termasuk dalam memilih produk makanan atau minuman yang akan
dikonsumsi. Berkembangnya berbagai jenis penyakit terutama yang diakibatkan
oleh pola konsumsi makanan yang salah, mendorong masyarakat kembali ke alam.
Dengan kata lain, masyarakat kini mulai beralih pada upaya alami dengan
mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung antioksidan alami yang tidak
menimbulkan efek samping atau mungkin ada efek samping tetapi dengan efek yang
relatif ringan. Jadi, antioksidan alami menjadi alternatif yang lebih diminati
oleh masyarakat daripada antioksidan sintetik.
Sebagai bahan alami, buah-buahan, sayuran, dan
teh merupakan serat alami yang memiliki kandungan senyawa flavonoid dalam kadar
yang tinggi. Seperti yang kita ketahui bahwa buah, sayuran, dan teh banyak
mengandung vitamin dan mineral yang memang sangat berguna bagi kesehatan tubuh
kita, misalnya kerena adanya kandungan vitamin E dan vitamin C yang memang
telah dikenal sebagai antioksidan sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Sejauh yang masyarakat umum ketahui, kandungan pada buah, sayuran, dan teh
adalah kandungan vitamin dan mineralnya saja. Padahal di dalamnya juga terdapat
kandungan flavonoid yang juga merupakan antioksidan. Bahkan flavonoid merupakan
antioksidan yang jauh lebih baik dari pada antioksidan lainnya, seperti
pada vitamin E dan vitamin C. Hal
ini membuktikan bahwa flavonoid sebagai antioksidan memiliki potensi yang lebih
tinggi sebagai obat antikanker dari pada vitamin dan mineral.
Kandungan
flavonoid ini memberi harapan sebagai pencegah antikanker. Penyakit yang sangat
ditakuti saat ini adalah kanker. Kalau dahulu orang takut penyakit pes, kolera,
cacar, TBC, tipus, dan jenis-jenis penyakit lain yang sekarang sudah tidak
ditakuti lagi, sekarang orang selalu takut akan bahaya kanker yang
sewaktu-waktu dapat timbul (Braam, 1980). Saat ini, cara pengobatan kanker yang
biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah pembedahan, radioterapi,
dan kemoterapi. Tujuan dari cara pengobatan tersebut adalah membunuh sel-sel
kanker. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa tidak sedikit dari cara-cara
tersebut yang justru menimbulkan efek samping. Efek samping yang ditimbulkan
tersebut akan menjadi beban baru bagi para penderita kanker. Oleh sebab itu,
masyarakat mulai beralih pada pengobatan yang tidak menimbulkan efek samping
atau mungkin ada efek samping tetapi dengan efek yang ringan.
Penyakit Kanker
Penyakit Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal dan tidak terkendali. Drs.
Wildan Yatim dalam bukunya Biologi (1996:100) menilai kanker sebagai berikut:
”Kanker mengandung
sel-sel yang membelah terus secara cepat dan tak terkontrol. Sel-selnya
memilki sifat seperti sel muda yang aktif bermitosis. Seperti sel-sel embrio,
sel-sel kanker berinti besar, nukleus pun besar, dan dalam plasma terdapat
banyak butiran dan membran tipis. Sel kanker bisa merusak sel-sel yang lain dan
dapat pindah ke jaringan dan daerah lain”.Senyawa Flovonoid sebagai Antikanker.
Senyawa bioaktif flavonoid yang merupakan ekstrak
metanol ini dikatakan sebagai antikanker karena dapat menghambat tumbuhnya
sel-sel kanker itu sendiri. Sebagai antioksidan, senyawa flavonoid dapat
mencegah reaksi bergabungnyamolekul karsinogen
dengan DNA sel sehingga mencegah kerusakan DNA sel. Di sini lah
komponen bioaktif flavonoid dapat mencegah terjadinya proses awal pembentukan
sel kanker. Bahkan flavonoid dapat merangsang proses perbaikan DNA sel yang
telah termutasi sehingga sel menjadi normal kembali. Selain itu, dapat mencegah
pembentukan pembuluh darah buatan sel kanker (proses angiogenesis) sehingga
sel-sel kanker tidak dapat tumbuh menjadi besar karena saluran untuk
pertumbuhannya terhambat.
Makanan yang mengandung flavonoid, seperti stroberi hijau, kubis, apel, kacang-kacangan, dan bawang juga mengurangi risiko terjagkitnya penyakit kanker paru-paru. Hal ini menandakan bahwa untuk mencegah terjadinya kanker sangat lah mudah asalkan kita sendiri ada kemauan dalam menjaga kesehatan. Pepatah “lebih baik mencegah dari pada mengobati” pun menjadi amat tepat bila bicara mengenai kanker. Hal ini mengingat sulitnya pengobatan dan minimnya kesembuhan apabila seseorang sudah terjangkit kanker.
Makanan yang mengandung flavonoid, seperti stroberi hijau, kubis, apel, kacang-kacangan, dan bawang juga mengurangi risiko terjagkitnya penyakit kanker paru-paru. Hal ini menandakan bahwa untuk mencegah terjadinya kanker sangat lah mudah asalkan kita sendiri ada kemauan dalam menjaga kesehatan. Pepatah “lebih baik mencegah dari pada mengobati” pun menjadi amat tepat bila bicara mengenai kanker. Hal ini mengingat sulitnya pengobatan dan minimnya kesembuhan apabila seseorang sudah terjangkit kanker.
Namun, manusia harus selektif dalam mengonsumsi
makanan, minuman, sayuran, dan buah-buahan yang dianggap alami dan tidak
memiliki efek samping. Hal ini tampaknya harus menjadi pertimbangan yang lebih
jauh dari manusia mengingat zaman sekarang yang semakin maju dan mengakibatkan
manusia selalu menginginkan yang instan, mudah, dan murah, misalnya penggunaan
pestisida dalam perawatan buah dan sayuran untuk menghindari gangguan hama yang
dapat membuat hasil buah atau sayuran menjadi rusak bahkan dapat menyebabkan
gagal panen. Secara otomatis, pestisida yang disemprotkan pada buah atau
sayuran tersebut akan menempel dan akan termakan oleh manusia yang
mengonsumsinya. Padahal, jika kita lihat dari kandungannya, pestisida merupakan
bahan kimia yang bersifat karsinogen yang dapat mengaktifkan sel-sel kanker
pada tubuh manusia.
Kandaswami dan Middleton (2004) mengatakan bahwa flavonoid dapat menghalangi reaksi oksidasi
kolesterol jahat (LDL) yang menyebabkan darah mengental yang dapat
mengakibatkan penyempitan pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah pada tubuh
akan menyebabkan aliran darah tidak lancar dan jika dibiarkan dalam waktu yang
terlalu lama, kemungkinan besar akan mengumpul bahkan menggumpal pada daerah
tertentu. Penggumpalan darah ini dapat mengakibatkan sel-sel tersebut menjadi
sel kanker yang dapat aktif apabila didukung oleh asupan bahan karsinogenik
atau faktor luar lainnya yang dikonsumsi manusia.
Flavonoid juga menghambat invasi tumor sehingga tumor tidak membesar dan tidak menjadi ganas yang menyebabkan kanker. Tumor yang tertanam dalam tubuh manusia apabila dibiarkan terlalu lama akan menjadi sel kanker yang ganas dan akan menggerogoti tubuh. Mengingat bahaya penyakit kanker bagi tubuh, manusia harus mengambil sikap dan antisipasi terhadap penyakit yang menyebabkan kematian tersebut, misalnya dengan mengonsumsi makanan yang mengandung flavonoid yang tinggi. Karena kandungannya yang banyak terdapat pada buah, sayur, dan teh, dapat dikatakan bahwa tidak sulit untuk melindungi diri dari penyakit berbahaya, seperti kanker. Perlindungan tersebut dikatakan cukup mudah sebab buah, sayur-sayuran, dan teh sangat mudah didapat.
Flavonoid juga menghambat invasi tumor sehingga tumor tidak membesar dan tidak menjadi ganas yang menyebabkan kanker. Tumor yang tertanam dalam tubuh manusia apabila dibiarkan terlalu lama akan menjadi sel kanker yang ganas dan akan menggerogoti tubuh. Mengingat bahaya penyakit kanker bagi tubuh, manusia harus mengambil sikap dan antisipasi terhadap penyakit yang menyebabkan kematian tersebut, misalnya dengan mengonsumsi makanan yang mengandung flavonoid yang tinggi. Karena kandungannya yang banyak terdapat pada buah, sayur, dan teh, dapat dikatakan bahwa tidak sulit untuk melindungi diri dari penyakit berbahaya, seperti kanker. Perlindungan tersebut dikatakan cukup mudah sebab buah, sayur-sayuran, dan teh sangat mudah didapat.
Permasalahan:
Bagaimana flavonoid dapat berperan sebagai senyawa yang dapat mencegah reaksi bergabungnya molekul karsinogen dengan DNA sel sehingga mencegah kerusakan DNA sel? Apa yang membuat flavonoid dapat menjadi antioksidan yang jauh lebih baik dari pada antioksidan lainnya, seperti pada vitamin E dan vitamin C?
Bagaimana flavonoid dapat berperan sebagai senyawa yang dapat mencegah reaksi bergabungnya molekul karsinogen dengan DNA sel sehingga mencegah kerusakan DNA sel? Apa yang membuat flavonoid dapat menjadi antioksidan yang jauh lebih baik dari pada antioksidan lainnya, seperti pada vitamin E dan vitamin C?
2. Flavonoid pada umumnya larut dalam pelarut polar. Mengapa demikian dan bagaimana jika flavonoid larut dalam pelarut nonpolar?
Malam saudari elva
BalasHapusSaya akan menjawab permasalahan anda
Flavonoid dikatakan antioksidan karena dapat menangkap radikal bebas dengan membebaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya. Aksi radikal memberikan efek timbulnya berbagai penyakit yang berbahaya bagi tubuh. Tubuh manusia tidak mempunyai sistem pertahanan antioksidatif yang lebih sehingga apabila terkena radikal bebas yang tinggi dan berlebih, tubuh tidak dapat menanggulanginya. Saat itulah tubuh manusia membutuhkan antioksidan dari luar (eksogen) yang dapat dilakukan dengan asupan senyawa yang memiliki kandungan antioksidan yang tinggi melalui suplemen, makanan, dan minuman yang dikonsumsi.
Saya akan menjawab permasalahan 2. Senyawa flavonoid merupakan senyawa polar, kepolaran ini akan berbeda-beda terhadap berbagai pelarut sehingga harus diperhatikan dengan menggunakan pelarut yang sesuai kepolaran flavonoid yang akan diekstraksi.
BalasHapusUmumnya flavonoid larut dalam pelarut-pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetilformamida, air dan lain-lain. Dalam bentuk glikosida karena adanya gula yang terikat pada flavonoid menyebabkan mudah larut dalam air, dan dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosidanya. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang termodifikasi, cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform.
Jadi penggunaan pelarut dalam isolasi flavonoid harus disesuaikan dengan kepolaran dari flavonoid itu sendiri.
Saya akan mencoba menjawab permasalahan Anda yg pertama:
BalasHapusPengujian terhadap aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa metode
baik secara, in vitro dan in vivo. Uji aktivitas antioksidan secara in vitro dapat dilakukan
dengan metode penangkap radikal hidroksil atau anti degradasi deoksiribosa yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Sri Atun, 2005; Kim, 2002). Uji aktivitas penangkap
radikal hidroksil secara in vitro menggunakan metode Fenton sebagai penghasil radikal hidroksil. Reaksi pembentukan radikal hidroksil dapat terjadi menurut persamaan sebagai
berikut:
Fe2+ + H2O2 → Fe3+ + .OH + OHRadikal hidroksil selanjutnya akan bereaksi dengan 2-deoksiribosa membentuk
malonaldehid. Adanya sampel atau ekstrak yang mengandung senyawa yang dapat
menangkap radikal hidroksil akan mengurangi kerusakan 2-deoksiribosa. Adanya
malonaldehid dapat diidentifikasi dengan asam tiobarbiturat (TBA) yang akan
membentuk kompleks berwarna merah, sehingga dapat ditetapkan secara
spektrofotometri.
Saya akan menjawab permasalahan yg ke 2 dimetilformamida, air dan lain-lain. Dalam bentuk glikosida karena adanya gula yang terikat pada flavonoid menyebabkan mudah larut dalam air, dan dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosidanya. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang termodifikasi, cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform.
BalasHapusJadi penggunaan pelarut dalam isolasi flavonoid harus disesuaikan dengan kepolaran dari flavonoid itu sendiri.
Dari nomor 2.
BalasHapusMenurut saya, karena flavonoid termasuk dalam senyawa yang polar maka dari itu banyak menggunakan pelarut polar daripada nonpolar.